Kamis, 07 Januari 2010

Masalah Sosial


Masalah sosial adalah suatu ketidaksesuaian antara unsur-unsur kebudayaan atau masyarakat, yang membahayakan kehidupan kelompok sosial. Jika terjadi bentrokan antara unsur-unsur yang ada dapat menimbulkan gangguan hubungan sosial. Masalah sosial muncul akibat terjadinya perbedaan yang mencolok antara nilai dalam masyarakat dengan realita yang ada. Yang dapat menjadi sumber masalah sosial yaitu seperti proses sosial dan bencana alam.
Masalah sosial dapat dikategorikan menjadi 4 (empat) jenis faktor, yakni antara lain :
1. Faktor Ekonomi : Kemiskinan, pengangguran, dll.
2. Faktor Budaya : Perceraian, kenakalan remaja, dll.
3. Faktor Biologis : Penyakit menular, keracunan makanan, dll.
4. Faktor Psikologis : Penyakit syaraf, aliran sesat, dll.
1. Faktor Ekonomi, faktor ini merupakan faktor terbesar terjadinya masalah sosial. Apalagi setelah terjadinya krisis global PHK mulai terjadi di mana-mana dan bisa memicu tindak kriminal karena orang sudah sulit mencari pekerjaan.
2.Faktor Budaya, Kenakalan remaja menjadi masalah sosial yang sampai saat ini sulit dihilangkan karena remaja sekarang suka mencoba hal-hal baru yang berdampak negatif seperti narkoba, padahal remaja adalah aset terbesar suatu bangsa merekalah yang meneruskan perjuangan yang telah dibangun sejak dahulu.
3.Faktor Biologis, Penyakit menular bisa menimbulkan masalah sosial bila penyakit tersebut sudah menyebar disuatu wilayah atau menjadi pandemik.
4.Faktor Psikologis, Aliran sesat sudah banyak terjadi di Indonesia dan meresahkan masyarakat walaupun sudah banyak yang ditangkap dan dibubarkan tapi aliran serupa masih banyak bermunculan di masyarakat sampai saat ini.
Masalah Sosial adalah suatu ketidaksesuaian antara unsur-unsur kebudayaan atau masyarakat, yang membahayakan kehidupan kelompok sosial.1 Jika terjadi bentrokan antara unsur-unsur yang ada dapat menmbulkan gangguan hubungan seperti kegoyahan dalam kelompok atau masyarakat. Masalah sosial muncul akibat terjadinya perbedaan yang mencolok antara nilai dalam masyarakat dengan realita yang ada. Yang dapat menjadi sumber masalah sosial yaitu seperti proses sosial dan bencana alam.
Masalah sosial dapat dikategorikan menjadi 4 (empat) jenis factor, yakni :
1.Faktor ekonomi :Kemiskinan, pengangguran, Kriminalitas
2.Faktor Budaya:Perceraian, kenakalan remaja
3.Faktor Biologis:Penyakit menular, keracunan makanan
4.Faktor Psikologis:Penyakit Syaraf, aliran sesat.
Masalah sosial di Indonesia terjadi seperti lingkaran setan, Pemerintah telah membuat peraturantentangakan memberi denda pada orang yang bersedekah pada pengemis, dan pemerintah juga sibuk dengan kebijakan-kebijakan yang telah dan akan dibuat yang berkaitan dengan masalah sosial yang terjadi di Indonesia seperti PNPM Mandiri, Kredit Usaha Rakyat (KUR).
Masalah sosial yang sangat terasa di saat sekarang ini adalah realita kemiskinan yang dirasakan oleh masyarakat Indonesia. Kita semua menyadari bahwa kemiskinan merupakan salah satu masalah sosial di Indonesia yang tidak mudah untuk diatasi. Beragam upaya dan program dilakukan untuk mengatasinya tetapi masih banyak kita temui permukiman masyarakat miskin hamper di setiap sudut kota.Keluhan yang paling sering disampaikan mengenai pemukiman masayarakat miskin tersebut adalah rendahnya kualitas lingkungan yang dianggap sebagai bagian kota yang mesti disingkirkan.
1. Soekanto Soerjono, Sosiologi sebagai pengantar,
Tulisan ini mencoba untuk memberikan penjelasan tentang latar belakang terjadinya kemisikinan di Indonesia secara umum dan kota Jakarta secara khususnya, dan upaya untuk mengatasi kemiskinan di perkotaan sekaligus pula untuk meningkatkan kualitas lingkungan permukiman masyarakat miskin.
Pendekatan konvensional yang paling popular dilakukan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah adalah menggusur pemukiman kumuh dan kemudian diganti oleh kegiatan perkotaan lainnya yang dianggap lebih bermartabat. Cara seperti ini yang sering disebut pula sebagai peremajaan kota bukanlah cara yang berkelanjutan untuk menghilangkan kemiskinan dari perkotaan.
Kemiskinan dan kualitas lingkungan yang rendah adalah hal yang mesti dihilangkan tetapi tidak dengan menggusur masyarakat yang telah bermukim lama di lokasi tersebut. Menggusur secara paksa adalah hanya sekedar memindahkan kemiskinan dari lokasi lama ke lokasi baru dan kemiskinan tidak akan pernah berkurang. Bagi orang yang tergusur malahan penggusuran ini akan semakin menyulitkan kehidupan mereka karena mereka mesti beradaptasi dengan lokasi pemukimannya yang baru dan penggusuran secara paksa bahkan sampai dengan adanya unsure anarkisme itu adalah melanggar hak asasi manusia yang paling hakiki dan harus dihormati bersama.
Di Amerika Serikat, pendekatan peremajaan kota sering digunakan pada tahun 1950 dan 1960-an.2Pada saat itu pemukiman-pemukiman masyarakat miskin di pusat kota digusur dan diganti dengan kegiatan perkotaan lainnya yang dianggap lebih baik. Peremajaan kota ini menciptakan kondisi fisik perkotaan yang lebih baik tetapi sarat dengan masalah sosial. Kemiskinan hanya berpindah saja dan masyarakat miskin yang tergusur semakin sulit untuk keluar dari kemiskinan karena akses mereka terhadap pekerjaan semakin sulit.
2. Mitchell Duncan, Suatu analisa system social. (Jakarta:Bina Aksara,1984)
Peremajaan kota yang dilakukan pada saat itu sering kali disesali oleh para ahli perkotaan saat ini karena menyebabkan timbulnya masalah sosial seperti kemiskinan perkotaan yang semakin akut, gelandangan dan kriminalitas. Menyadari kesalahan yang dilakukan masa lalu, pada awal tahun 1990-an kota-kota di Amerika Serikat lebih banyak melibatkan masyarakat miskin dalam pembangunan perkotaannya dan tidak lagi menggusur mereka untuk menghilangkan kemiskinan di perkotaan.
Kalau diIndonesia, paling sedikit kami menemukan dua masyarakat miskin di Jakarta yang melakukan aktivitas hijau untuk meningkatkan kualitas lingkungan sembari menciptakan lapangan pekerjaan bagi masyarakat miskin. Seperti dapat ditemui di Indonesia’s Urban Studies, masyarakat di Penjaringan, Jakarta Utara dan masyarakat kampung Toplang di Jakarta Barat mereka mengelola sampah untuk dijadikan kompos dan memilah sampah nonorganik untuk dijual.
Aktivitas hijau di Penjaringan, Jakarta Utara dilakukan melalui program Lingkungan Sehat Masyarakat Mandiri yang diprakarsai oleh Mercy Corps Indonesia. Masyarakat miskin di Penjaringan terlibat aktif tanpa terlalu banyak intervensi dari Mercy Corps Indonesia. Program berjalan dengan baik dan dapat meningkatkan kualitas lingkungan kumuh di Penjaringan. Masyarakat di Penjaringan sangat antusias untuk melakukan kegiatan ini dan mereka yakin untu mampu mendaurlang sampah di lingkungannya dan menjadikannya sebagai lapangan pekerjaan yang juga akan berkontribusi untuk mengentaskan kemiskinan di lingkungannya.
Cara untuk mengatasi kemiskinan dan rendahnya kualitas lingkungan permukiman masyarakat miskin adalah tidak dengan menggusurnya. Penggusuran hanyalah menciptakan masalah sosial perkotaan yang semakin akut dan pelik. Penggusuran atau sering diistilahkan sebagai peremajaan kota adalah cara yang tidak berkelanjutan dalam mengatasi kemiskinan.
Aktivitas hijau3seperti yang dilakukan oleh masyarakat Penjaringan dan Kampung Toplang merupakan bukti kuat bahwa masyarakat miskin mampu meningkatkan kualitas lingkungan permukiman dan juga mengentaskan kemiskinan. Masyarakat miskin adalah salah satu komponen dalam komunitas perkotaan yang mesti diberdayakan dan bukannya untuk digusur. Solusi yang berkelanjutan untuk mengatasi kemiskinan dan pemukiman kumuh di perkotaan adalah pemberdayaan masyarakat miskin dan bukanlah penggusuran.
Lain lagi kemiskinan yang terjadi di masyarakat Flores, bagi masyarakat Flores kemiskinan merupakan sebuah fakta. Ini muncul dalam berbagai aspek dan bentuk kehidupan masyarakat sehingga menjadi sebuah persoalan yang pelik dan serius. Menyoal kemiskinan, lantas membedahnya dan menemukan solusi pengentasannya bagai mengurai benang kusut yang sangat rumit untuk diselesaikan.
Secara alamiah daerah Flores termasuk daerah yang gersang dan tandus. Hal ini tidak dapat dipungkiri karena fakta membuktikan curah hujan yang rendah dan musim panas yang panjang. Problem alamiah ini diperparah dengan keadaan geografis Flores yang tergolong rentan akan bencana alam. Berangkat dari latar belakang ini, sebetulnya keadaan sosial-ekonomi masyarakat Flores sudah bisa diukur. Hampir sebagian besar masyarakat Flores bertani secara musiman, dan amat tergantung pada hasil pertanian jangka panjang. Sementara yang menetap di pesisir pantai menggantungkan hidupnya pada hasil tangkapan laut. Dari sini dapat diukur kemampuan ekonomi rata-ratanya, bahwa pendapatan perkapita sangat rendah dan masih terbilang berada di bawah garis kemiskinan.
Mempersoalkan kemiskinan Flores dari latar belakang geografis dan juga topografis masih terbilang wajar, dan itu tidak terelakkan. Lantas, untuk mengelak dari keadaan yang demikian, separuh kaum muda baik laki-laki maupun
3.Aktivitas hijau adalah suatu aktivitas masyarakat dalam menghijaukan dan melestarikan lingkungan alam sekitarnya, dan tidak merusak limgkungan
perempuan memilih untuk menemukan penghidupan yang layak di tanah perantauan.
Sementara yang lainnya mencoba untuk mengadu nasib lewat transmigrasi. Namun demikian, kemiskinan tetap menjadi persoalan yang tidak lekas usai. Sampai-sampai kemiskinan menjadi sangat identik dengan Flores. Sempat ada yang berkomentar ‘berbicara tentang Flores sama dengan berbicara tentang kemiskinan, juga sebaliknya berbicara tentang kemiskinan seperti kita sedang berbicara tentang Flores
Apalagi jika persoalan kemiskinan diletakkan dan diteropong dari segi pendidikan. Pendidikan, baik yang formal maupun yang informal lantas menjadi persoalan yang juga tidak kalah peliknya. Antara kemiskinan dan pendidikan dihubung-hubungkan, tidak jarang saling menyalahkan dan menuduh. Di satu sisi rendahnya tingkat dan mutu pendidikan serta tingginya angka putus sekolah disebut sebagai dampak langsung dari kemiskinan. Sementara di sisi yang lain kemiskinan yang tinggi mengakibatkan akses ke dunia pendidikan menjadi tertutup. Pendidikan ‘dituduh’ tidak banyak membantu, entah dengan alasan biaya pendidikan yang terlalu mahal atau alasan yang lain semisal muculnya bias komersialisasi pendidikan.
Dari sisi medis-kesehatan kita temukan data bahwa pada 11 Maret 2006—menurut Kepala Dinas Kesehatan Provinsi NTT pada Pemantauan Kejadian Luar Biasa (KLB) Gizi di NTT tahun 2006— angkanya meningkat menjadi 86.275 balita (kurang gizi), 13.251 balita (gizi buruk), dan 523 balita (busung lapar). Jumlah yang meninggal naik hampir dua kali lipat menjadi 61 balita.
Pada 7 Juni 2006, jumlah yang meninggal bertambah lagi jadi 68 balita, atau semakin mendekati jumlah korban tragedi kelaparan besar di Flores yakni Wolofeo yang menewaskan 100 orang lebih pada tahun 1978. Menurut Ketua Institute for Ecosoc Rights Sri Palupi, meski baru merebak di media massa pertengahan 2004, kasus busung lapar sebenarnya sudah terjadi jauh hari sebelumnya. Bahkan, bukan hanya di NTT, sekitar 72 persen kabupaten di Indonesia terus mencatat peningkatan kasus busung lapar setiap tahun. Masalah
kurang gizi, gizi buruk, dan busung lapar di NTT selama ini diyakini berbagai kalangan juga baru puncak dari gunung es. Artinya, angka yang terungkap selama ini hanya sebagian kecil dari jumlah sebenarnya, karena tak semua kasus terpantau. Anehnya, meskipun masalah gizi buruk sudah sedemikian struktural dan laten, pendekatan terhadap masalah ini hingga sekarang masih selalu jangka pendek, darurat (emergency), kuratif, karitatif, dan sporadis.
Menanggapi kompleksitas persoalan yang mendera masyarakat flores. Pemerintah Daerah dan Gereja lokal tentunya tidak lepas tangan. Tahun 2001 isu nasional yang meloloskan otonomi daerah disambut antusias oleh sebagian masyarakat Flores. Sebagian masyarakat menyambutnya dengan optimis, bahwa bergulirnya otonomi daerah dengan berbagai pemekaran kabupaten dan kota memudahkan tata kelolah sehingga melihat persoalan lebih terfokus. Gereja pun tidak tinggal diam, keptusan SAGKI 2005 yang menggulirkan tema ‘Bangkit dan Bergeraklah’ terasa gemanya menyapa komunitas basis sebagai akar rumput kekuatan gereja. Tujuannya sama yakni menguatkan piranti pelayanan agar lebih terkontrol dan terorientasi. Baik Pemerintah maupun Gereja mencoba dengan terobsan-terobosannya yang inovatif-kreatif tentunya mau bersama-sama menjawab persoalan real yang dihadapi masyarakat bangsa, termasuk masyarakat Flores khususnya.
Lagi-lagi kemiskinan tidak lekas tuntas, karena masih menjadi persoalan masyarakat Flores sampai hari ini. Berbagai gagasan coba dituangkan di mimbar-mimbar diskusi, di halaman-halaman Koran, juga terobosan-terobosan spektakuler dicobapraktekkan tetapi mau apa dikata, masyarakat Flores masih saja berputar-putar dalam lingkaran kemiskinan. Ada apa gerangan? Timbulah pertanyaan yang sebetulnya sudah usang, mengapa kemiskinan dalam berbagai bentuk dan wujudnya terus menjadi persoalan yang kompleks untuk masyarakat flores? Pertanyaan lebih lanjut adalah apa akar masalahnya? Jika akar masalahnya adalah persoalan geografis dan topografis, sudah barang tentu kemiskinan di Flores sudah purna diselesaikan. Rupa-rupanya masalah geografis dan topografis Flores bukan menjadi sebab utama mengapa Flores tetap hidup didera kemiskinan, kendatipun kenyataan ini tidak dipungkiri menjadi penyebab pula.
Ada indikasi lain, bahwa secara Struktural (lebih-lebih isntitusi pemerintah dan mungkin juga gereja) dan secara Kultural (yang muncul dalam danmelalui adat istiadat dan kebiasaan-kebiasaan) kemiskinan dilahirkan dan ditumbuhsuburkan.
Secara Struktural, yakni melalui lembaga-lembaga pemerintahan amat pekat dengan berbagai ketimpangan. Masalahnya bukan hanya dosa warisan orde baru berupa korupsi, kolusi dan nepotisme, tetapi juga perebutan kekuasaan dan jabatan, mem-perda-kan kepentingan-kepentingan yang terkesan subjektif, juga sampai pejabat yang tidak peduli dan seenak perutnya mengurus dapur keluarganya sendiri.
Namun yang palingrumit adalah kasus korupsi. Begitu rumitnya tali-temali korupsi di NTT, sampai Kejaksaan Tinggi setempat angkat tangan dan pemerintah pusat tak berdaya karena belum lagi satu kasus tuntas ditangani, deretan kasus baru lain sudah muncul. Tak heran, Indonesian Corruption Watch menempatkan NTT di urutan keenam provinsi terkorup dan muncul komentar bernada satiris, “Paling enak korupsi di NTT”, karena hampir 100 persen dijamin lolos.
Soal yang lain. Menggerojok dana ke NTT seperti menggerojok air ke padang pasir, tidak berbekas! Sebagai gambaran, setiap tahun dana yang digelontorkan ke NTT Rp 4,5 triliun-Rp 5 triliun. Namun, kesejahteraan tak membaik. Indeks pembangunan manusia NTT. 5
5 Dengan dana yang begitu banyak dari Pemerintah Pusat, tapi kesejahteraan masyarakat flores tidak terwujud karena korupsi yang merajalela di daerah tersebut.
Gambaran di atas menunjukkan dana APBD, dana alokasi umum, dana perimbangan, bantuan atau apa pun program pemerintah dan lembaga bantuan selama ini tidak banyak menyentuh persoalan hak dasar rakyat miskin dan tak mampu mengentaskan mereka dari kemiskinan, ketertinggalan, dan kelaparan. Yang terjadi justru pemiskinan.
Sedangkan secara Kultural berkecambah kebiasaan-kebiasaan usang dan tidak mencerahkan. Permintaan belis dengan berbatang-batang gading tampaknya tidak realistis dengan keadaan zaman. Contoh yang lain dikemukakan oleh Prof Dr Alo Liliweri, staf Dosen Ilmu Komunikasi pada Universitas Nusa Cendana Kupang, dalam sebuah seminar di kupang akhir tahun lalu. Beliau mengemukakan, kebanyakan orang NTT yang dilahirkan dan dibesarkan di NTT tidak bersedia meneruskan pekerjaan orangtuanya sebagai petani. Namun, ketika ia keluar dari NTT atau berpindah ke kabupaten lain di NTT, ia sukses bekerja sebagai petani atau pekerja kasar lain.
“Ia tidak mau pekerjaan kasar itu dilihat orang lain. Tetapi, setelah keluar dari kampung asal, banyak yang sukses sebagai pekerja kasar. Mereka bisa melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi, membangun rumah baru, dan menyekolahkan anak-anak sampai di perguruan tinggi,” ungkap Liliweri.
Kami memaparkan, kebanyakan orang NTT lebih suka berpesta, hura-hura selama berhari-hari sampai larut malam. Harta benda disumbangkan kepada tuan penyelenggara pesta dengan pertimbangan akan mendapat balasan serupa saat ia menyelenggarakan pesta. Sikap gotong royong saat berpesta menyebabkan segala sesuatu dipestakan, seperti masuk rumah baru, pesta sambut baru (komuni pertama), sunatan, cukur rambut anak, pernikahan, ibu melahirkan, wisuda, dan lulus ujian akhir nasional.
Kecenderungan menjadi pegawai negeri sipil (PNS) di masyarakat NTT sangat tinggi ketimbang menjadi wiraswasta. Jika tidak diterima sebagai PNS, mereka memilih tinggal di rumah, bergantung hidup kepada kedua orangtua. Tidak ada kemauan menjadi wiraswasta. Sukuisme sangat tinggi di kalangan masyarakat NTT. Mereka terkotak-kotak dalam budaya, adat, agama, dan pulau-pulau. Sikap mereka dalam beragama sangat kuat, tetapi tidak mengamalkan dalam kehidupan praktis sehari-hari, terutama untuk membangun kehidupan sosial yang lebih efektif dan berdayaguna.
Keterlibatan di dalam urusan keagamaan sampai berlarut-larut dan hampir melibatkan seluruh anggota keluarga. Misalnya, latihan koor gereja, pertemuan kelompok umat basis, berdoa kelompok, dan seterusnya. Hanya sedikit waktu untuk bekerja kebun atau kegiatan ekonomi keluarga.
Jika dilihat dari pokok permasalahan di atas muncul pertanyaan reflektif yang sangat menarik untuk dibedah, tetapi juga menggelitik kesadaran kita, Flores: miskin atau dimiskinkan?
Dari dua buah fakta yang kami ungkapkan di atas, yaitu kemiskinan di daerah Flores dan kemiskinan yang terjadi di kota Jakarta. Ada dua perbedaan yang mencolok dari kenyataan ini yaitu kemiskinan yang terjadi daerah Flores itu disebabkan oleh daerahnya yang memang sangat gersang dan tandus, apapunyang ditanam tidak akan menghasilkan memuaskan, begitu juga dari hasil kelautannya, ditambah lagi masyarakatFlores yang bisa dikatakan malas, mengapa? Karena mereka rata-rata tidak ingin dan jarang yang mau berwirausaha secara mandiri atau berwiraswasta, mereka hanya ingin menjadi Pegawai Negeri Sipil.
Sedangkan kemiskinan yang terjadi di Ibukota sangat mendasar sekali, karena pada dasarnya orang yang miskin di Jakarta adalah masyarakat atau penduduk pendatang dari daerah lain, seperti dari daerah Sumatera. Mereka di Ibukota tidak memiliki pekerjaan yang tetap dan tempat tinggal yang tetap juga, biasanya mereka tinggal di daerah-daerah pemukiman kumuh, daerah areal rel kereta api, kolong jembatan, pekerjaan merekapun sangat serabutan sekali, sehinggasangat mungkin terjadi tingkat kriminalitas yang tinggi sekali, seperti pencopetan , perampokan, hingga pembunuhan.

Pengentasan Kemiskinan yang selama ini dijalankan oleh Pemerintah tidak efektif dalam memberdayakan masyarakat.tidak efektifnya aneka program penanggulangan kemiskinan dikarenakan program-program tersebut tidak berorientasi pada peningkatakan potensi dan pengetahuan masyarakat.
kami mencontohkan pada Bantuan LangsungTunai yg digelontorkan oleh Pemerintah,tidak berdampak langsung pada peningkatan kesejahteraan masyarakat,karena mereka tidak diberi pengetahuna cara pengelolaan uang secara baik dan benar.Akibatnya, Bantuan Langsung Tunai jadi Bantuan Langsung Telas (Habis),” katanya dalam Konferensi Coorporate Social Responsibility di Hotel Mulia, Jakarta, Selasa (24/04).
Masalah lain yang dihadapi pemerintah dalam pengentasan kemiskinan, adalah mengendurnya rasa sosial dalam masyarakat. Saat inibatas antara masyarakat kaya dan penduduk miskin sangat jelas.
Perbedaan tersebut menjadi masalah karena tidak adanya kepedulian sosial antar penduduk. “Yang miskin 17 persen dan yang kaya 83 persen. Itu jadi masalah karena tidak ada kebersamaan dan kepedulian.
Selain itu, tidak efektifnya pengentasan kemiskinan juga disebabkan karena minimnya aksi nyata dalam setiap program. Banyak program kemiskinan hanya diwacanakan atau dibicarakan dalam rapat-rapat koordinasi. Padahal, yang terpenting adalah bantuan langsung ke masyarakat.
“Rapat itu kalau perlu saja, atau kalau bisa cukup dengan saling ber-sms saja,” Menyadari banyakkelemahan program itu seharusnya Departemen Sosial Republik Indonesia lebih berbenah diri dan lebih optimal lagi dalam menjalankan setiap program yang dikeluarkan oleh Presiden atau pemerintah, masyarakat miskin lebih merasakan dampak positif dari pelaksanaan program tadi.
Kami mencontohkan, bantuan kepada masyarakat miskin saat ini tidak lagi berorientasi pada bantuan jadi, tapi bantuan yang dapat memberdayakan masyarakat. Produktivitas masyarakat harus digalakkan dengan program-program pemberdayaan masyarakat

Dalam hal ini Pemerintah Daerah Khusus Indonesia (DKI Jakarta) sudah menegaskan bahwa setiap program kerja yang berkaitan dengan masyarakat terutama dalam pengentasan masyarakat miskin dan dalam peningkatan taraf hidup masyarakat Jakarta sudah sangat serius dijalankan, terbukti dengan adanya Operasi Yustisi saat hendak perayaan Hari Raya Idul Fitri setiap tahun, kebijakan ini diambil untuk mencegah dan mengurangi kepadatan penduduk di Ibukota,. Dan bagi siapa saja yang tertangkap oleh Dinas Trantib Pemda DKI Jakarta akan dipulangkan ke daerah asalnya dan di daerah asalnya mereka tersebut dibina oleh Pemda DKIdan Pemda daerah setempat.

Dan jugabagi wanita tuna susila yang sering dan banyak berkeliaran di Jakarta, dibina oleh Pemda DKI dan Dinas Sosial untuk membina para tuna susila tersebut, mereka yang dibina ini merupakan pemain-pemain lama yang jatuh ke dunia hitam dan berpuluh-puluh kali pula tertangkap oleh Dinas Trantib DKI. Dan saat mereka telah lulus dari binaan tersebut merekapun cenderung bekerja pada pekerjaan lamanya, karena tuntutan ekonomi yang mencekik leher. Memang masalah social di Indonesia seperti lingkaran setan , dan sudah seperti benang kusut. Jadi walau Pemerintah mengeluarkan aturan sebagus apapun sulit untuk mengatasi dan menghapus pengemis dan kemiskinan di bumi pertiwi ini. Solusinya memang benang kusut itu harus diuraikan dulu menjadi benang yang tegak lurus sehingga akan terlihat bagaimana mengatasinya secara bersama-sama

Solusi lain dalam mengatasi masalah social ini adalah kesadaran dari diri kita sendiri. Jika tiap orang memiliki kesadaran social, maka masalah social dapat dikurangi hingga seminim mungkin. Tentunya hal ini belum cukup, kita harus menghimbau orang lain agar peduli pada masalah social yang sudah terjadi dimana-mana. Tidak cukup hanya dengan himbauan berupa teori, namun juga praktek, misalnya saja dengan memberikan penyuluhan narkoba di sekolah-sekolah sebagai wujud kepedulian terhadap masalah social yang berkaitan dengan narkotika.

Kemiskinan merupakan gejala dehumanisasi paling memilukan namun sayangnya kemiskinan justru membentang di sepanjang sejarah kehidupan umat manusia, tanpa bisa dibendung dan lantaran itu pula kemiskinan mengharu-biru kehidupan umat manusia. Kemiskinan merupakan horor yang menakutkan, sebab dengan kemiskinan itu tiba-tiba terbentuk sekumpulan manusia yang dikategorisasi sebagai “gugusan” kaum periferal yang termarginalkan dari dinamika sistem kemasyarakatan dalam totalitas kehidupan. Pada tingkat perkembangan literer, begitu banyak narasi yang dikonstruksikan demi mengilustrasikan duka nestapa manusia di bawah tekanan kemiskinan.6
6 Salah satu di antaranya adalah novel Les Misérables karya tokoh gerakan Romantik Perancis, Victor Hugo (1802-1885).
Kemiskinan di Indonesia, juga memiliki makna konotasi yaitu ternyata di Indonesia yang disebut rakyat miskin itu adalah masyarakat yang berpengghasilan di bawah 122.000 rupiah perbulan (sekitar 13 dolar perbulannya). Kategori penduduk miskin menurut BPS adalah mereka yang berpenghasilan kurang dari Rp.122 ribu perbulan.
Padahal kalau dalam skalaInternasional, rakyat miskin itu adalah orang-orang yang berpenghasilan 1 dolar perharinya atau kurang dari 1 dolar, jadi perbulannya sekitar 30 dolar (270.000 rupiah –kalau 1 dollar US = 9000 rupiah).7
Sungguh sangat memiriskan kenyataan tentang realita masyarakat miskin ini, untuk itu marilah kita sebagai generasi penerus bangsa ini bersatu dalam memerangi kemiskinan yang menimpa bangsa ini, berkaryalah walaupun hal itu sangat sedikit manfaatnya untuk mereka , walaupun ada peraturan pemerintah yang akam memberi denda pada masyarakat yang ketahuan memberikan sedekan pada masyarakat miskin, teruslah Bantu mereka, kita berbuat bukan karena kita takut pada pemerintah, karena pemerintah juga manusia, sama seperti kita. Kita membantu sesame manusia karena kita adalah makhluk yang sama diciptakan oleh Penguasa Bumi ini.
SEIRAMPAH (Berita): Selain pendidikan dan kesehatan, masalah kemiskinan dan pengangguran merupakan masalah utama yang harus diatasi bersama pada tahun 2010 oleh Pemkab dan seluruh stakeholder atau pelaku pembangunan di Kabupaten Serdang Bedagai (Sergai). Upaya penanggulangan kemiskinan dan pengangguran perlu menjadi perhatian serius dalam mewujudkan pemenuhan hak-hak dasar masyarakat miskin.
Hal itu dikemukakan Bupati Sergai H.T. Erry Nuradi dalam sambutannya pada pembukaan musyawarah perencanaan pembangunan daerah (musrenbangda) Kabupaten Sergai tahun 2009 di aula Sultan Serdang kantor Bupati Sergai di Sei Rampah, Rabu [18/03] yang juga dihadiri Wakil Bupati H. Soekirman, Ketua DPRD Sergai MY. Basrun, Kapolresta Tebing Tinggi AKBP Raden Heru Prakoso, Kajari Lubuk Pakam T. Nainggolan SH, Ketua PN Tebing Tinggi Deli Abdul Hutapea SH, mewakili Dandim 0204/DS Kapten Inf. Mudjiani, dan mewakili Kepala SKPD Provinsi Sumatera Utara.
Untuk mengatasi masalah kemiskinan kata Bupati, dibutuhkan pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi dan berkesinambungan agar dapat meningkatkan penyerapan tenaga kerja sekaligus mengurangi kemiskinan dan didukung dengan program yang berpihak kepada masyarakat miskin itu sendiri.
Mewujudkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi bukanlah suatu pekerjaan yang mudah, karena harus didukung oleh peningkatan investasi yang dipengaruhi oleh suasana kondusif berupa kemudahan-kemudahan dalam peraturan dan adanya kepastian hukum.
Selain itu, untuk meningkatkan arus investasi yang akan masuk ke Kabupaten Sergai diperlukan juga pembangunan berbagai fasilitas infrastruktur lain termasuk penyediaan tenaga listrik yang saat ini kapasitasnya masih jauh dari kebutuhan sesungguhnya, ungkap Bupati.
Oleh karenanya untuk mengatasi masalah-masalah yang ada di tengah-tengah masyarakat kita, maka jajaran Pemkab Sergai secara terpadu dan bertahap harus dapat menyusun program kerja nyata berpihak kepada masyarakat yang dibahas bersama melalui Musrenbang tahun 2009 ini, kata Bupati.
Diungkapkan juga oleh Bupati H.T. Erry Nuradi, berbagai masalah yang dihadapi kurun waktu 2005 – 2008 di Kabupaten Sergai tampak sudah mulai terselesaikan yang digambarkan oleh peningkatan PDRB atas dasar harga berlaku pada tahun 2005 sebesar 5,05977 triliyun meningkat menjadi 6,42901 triliyun pada tahun 2007.\
Pertumbuhan ekonomi di Kabupaten Sergai pada tahun 2005 sebesar 5,91 meningkat menjadi 6,25 tahun 2007. Bahkan untuk indikator makro kesejahteraan rakyat mengalami peningkatan dengan membaiknya taraf kesehatan, pendidikan dan ekonomi masyarakat yang diterangkan pada besaran nilai Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang mencapai 72,2 pada tahun 2007.
Sebelumnya, Kepala Bappeda Sergai Ir. H. Safaruddin dalam kesempatan itu melaporkan bahwa Musrenbang Kabupaten Sergai tahun 2009 berlangsung dua hari diikuti sekitar 200 orang yaitu para Kepala SKPD Pemkab Sergai, Camat, delegasi dari Kecamatan, Desa, Kelurahan, tokoh masyarakat serta pelaku pembangunan yang ada di daerah ini.
Narasumber dari Pemerintah Provinsi Sumatera Utara yang ikutserta memberikan masukan pada Musrenbangkab Sergai untuk menyusun program pembangunan tahun 2010 itu diantaranya pejabat dari Dinas Kesehatan Provinsi Sumut, Dinas Pendidikan, Dinas Jalan dan Jembatan, Dinas Tarukim dan Dinas Pertanian.

Masalah Kemiskinan di Dunia dan Peran Krisis Finansial Global dalam Memperparah Masalah

Kemiskinan termasuk malapetaka sosial. Bahayanya melebihi melapetaka yang lain seperti penyakit dan kebodohan. Kemiskinan menjadi unsur vital terjadinya penderitaan berbagai bangsa. Kemiskinan menyebabkan munculnya banyak permasalahan, mengantarkan pada terjadinya sejumlah kriminalitas, mendorong terjadinya kerusakan, penyimpangan, pengangguran, dan sebagainya.
Saat ini, dunia didera kemiskinan yang menyebar luas di sebagian besar negeri, jika tidak dikatakan seluruhnya, meski berbeda-beda tingkatan dan jumlah orang miskinnya. Hampir-hampir tidak ada satu negara pun yang terbebas dari masalah kemiskinan pada masa sekarang ini, termasuk negara-negara kaya dan maju di bidang sains dan industri. Kemiskinan merupakan masalah umum dan telah menjadi bencana. Meski dunia menyaksikan kemajuan material, terlihat pula adanya peningkatan pengangguran secara nyata. Sebagian orang mengaitkan kemiskinan kepada madaniyah dan menetapkan adanya hubungan negatif antara kemajuan madaniyah dan kemiskinan, di mana setiap kali madaniyah bertambah maju maka setiap kali pula kemiskinan meningkat.
Kemiskinan menyebar luas secara menyolok sejak berlangsungnya kebangkitan industri dan meluasnya penggunaan alat dalam produksi industri dan pertanian. Seberapapun jumlah tenaga kerja yang diserap sektor industri, kemiskinan tetap saja meningkat tajam.
Berbagai pemerintah, lembaga-lembaga sosial, dan individu-individu kaya tidak berhenti menyerahkan bantuan dan memberi pertolongan yang bisa mereka lakukan kepada orang-orang miskin. Mereka juga tidak berhenti menciptakan program-program pelayanan sosial, kesehatan dan pendidikan dalam berbagai bentuknya kepada kaum miskin. Namun masalah kemiskinan tetap saja ada bahkan jumlah orang miskin di dunia makin bertambah. Pemerintah negara kaya dan lembaga-lembaga internasional telah turut campur dalam menyelesaikan masalah kemiskinan ini.
Kemiskinan menimbulkan munculnya masalah-masalah lain seperti urbanisasi, pencurian, penyakit, kebodohan, bunuh diri, pembunuhan, gelandangan dan pengemis, penyerangan terhadap harta pribadi dan harta umum. Juga makin maraknya suap, bertambahnya angka kriminalitas dan pengangguran, munculnya kelompok-kelompok bersenjata dan bentuk-bentuk penyimpangan lainnya. Semua itu merupakan bencana sosial yang berbahaya. Dunia masih terus bertanya-tanya tentang sebab-sebab masalah itu. Di sana terdapat program-program sosial dan lembaga-lembaga sosial, organisasi-organisasi internasional, pribadi-pribadi yang suka rela membayar zakat, memberi sedekah dan sumbangan. Juga ada negara-negara besar dan kaya yang membantu negara-negara lainnya. Di sana juga ada kesetiakawanan sosial, khususnya di negeri-negeri kaum Muslim. Namun semua upaya itu meski berpengaruh secara relatif kepada masalah kemiskinan yang parah itu, namun tetap tidak mampu menyelamatkan dunia dan isinya dari kemiskinan yang menghimpit. Juga tidak bisa menghentikan pertambahan jumlah orang miskin di dunia, baik di negara kaya atau di negara miskin, baik di negara besar atau pun di negara kecil. Semua negara sama-sama terjatuh dalam masalah kemiskinan.
Sebagai bukti apa yang kami katakan, khawatir sebagian orang menganggap paparan di atas berlebihan, maka kami sampaikan informasi-informasi berikut:
- Jumlah orang miskin di seluruh dunia sekitar empat milyar jiwa, yaitu kira-kira setengah jumlah penduduk dunia.
- Jumlah orang miskin di negara-negara Arab sendiri sebanyak 40 juta jiwa. Mereka hidup di bawah garis kemiskinan.
- Afrika yang memiliki kekayaan alam berlimpah dan tersimpan, merupakan benua paling miskin. Di samping kemiskinan, juga tersebar luas kebodohan dan penyakit. Afrika memiliki angka penderita Aids tertinggi di dunia. Semua itu terjadi di sebagian besar negara-negara di Afrika, kalau tidak bisa dikatakan di semua negara.
- Angka pengangguran di Mesir mencapai 70 %. Di Yordania dan negara Arab lainnya angka kemiskinan mencapai lebih dari 50 %. Di Maroko dan negara-negara lainnya, di sana masih terdapat sejumlah besar orang yang hidup di rumah-rumah yang terbuat dari kardus, karung dan tenda-tenda usang, bahkan kadang-kadang di gua. Lebih mengenaskan lagi adanya sejumlah besar tuna wisma yang tidak memiliki tempat bernaung. Mereka tidur di trotoar, terminal dan halte atau di sela-sela kuburan atau di tempat terbuka. Mereka itu ada di Amerika Serikat, Inggris, India, dan Mesir. Mereka dikenal sebagai buruh migran. Di negara-negara lain juga banyak orang seperti mereka. Orang-orang tunawisma di dunia berjumlah jutaan bukan hanya ribuan. Di Amerika Serikat saja terdapat lebih dari tiga juta warga yang tuna wisma.
- Sebagian orang mati kelaparan di beberapa negara pada saat di mana masyarakat tidak meyakini dan tidak mempercayai adanya kondisi seperti itu. Masyarakat memiliki pemahaman yang baku bahwa tidak ada seorang pun yang boleh mati kelaparan di dunia. Namun, sekarang hal itu terjadi.
- Meski ada partisipasi dari beberapa negara dan organisasi-organisasi internasional dalam pemberian bantuan, hibah, sumbangan, dan utang; namun, organisasi-organisasi itu juga berperan dalam menciptakan kemiskinan, penghambur-hamburan kekayaan dan menyebabkan krisis finansial, seperti Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF). Ini akibat solusi-solusi, rekomendasi-rekomendasi dan arahan-arahan keji yang diberikan kepada negara-negara debitor. Organisasi-organisasi itu ingin memelaratkan negara-negara tersebut dan melanggengkannya di bawah belas kasihan utang, pinjaman, dan kebutuhan. Selain itu secara lahiriyah, Amerika ingin dinilai sebagai negara terbesar yang memberikan hibah dan sumbangan. Berbagai kajian menunjukkan bahwa setiap satu dolar yang diberikan kepada negara-negara debitor, maka akan kembali ke Amerika sebesar sebelas dolar sebagai kompensasinya. Hal itu akibat politik yang keji, metode maltusisme dan keahliannya dalam melakukan eksploitasi. Salah seorang yang bekerja di Bank Dunia mensifati solusi-solusi yang diberikan kepada negara-negara debitor dengan tujuan untuk pembangunan, sebagai obat beracun yang hanya akan memperparah masalah. Hal itu mendorongnya untuk mengundurkan diri dari Bank Dunia.
- Berbagai peperangan dan pertarungan internasional yang dilakukan oleh beberapa negara yang mengklaim menyerukan kebebasan, menjaga hak asasi manusia, persamaan wanita, dan perlindungan anak-anak, menyebabkan meningkatnya angka kemiskinan, bahkan menciptakan kelas orang miskin lainnya yang hidup aman dan tenteram memiskinkan dirinya sendiri. Bukti atas semua itu adalah apa yang telah dan sedang terjadi di Afganistan, Irak, Palestina, Somalia dan negeri lainnya. Invasi Amerika ke Irak dan Afganistan, dan invasi zionis ke Palestina telah menyebabkan menyebarluasnya kemiskinan, bertambahnya angka kemiskinan, terciptanya orang-orang miskin baru, hancurnya rumah dan harta milik lainnya, penyerangan atas kebebasan, menyebarluasnya berbagai penyakit dan kebodohan, bertambahnya orang-orang yang dipenjara, tawanan, orang-orang yang ditangkap dan mereka yang ditahan. Demikian juga ribuan orang di negeri-negeri itu terpaksa meninggalkan rumah-rumah dan tempat tinggal-tempat tinggal mereka dan pergi mencari pekerjaan dan rizki, padahal mereka menghadapi masa depan yang tidak jelas dan kesempatan kerja yang tidak tersedia. Banyak orang kaya berubah menjadi miskin setelah kehilangan sumber-sumber rizki mereka.
- Di antara yang menyebabkan makin parahnya kondisi perekonomian di beberapa negara adalah terjadinya gempa, banjir dan tanah longsor seperti yang terjadi di Indonesia, dan yang terus terjadi di Bangladesh dan yang terakhir terjadi di Cina. Bencana itu menyebabkan malapetaka dalam bentuk hancurnya rumah-rumah, kematian, kemiskinan dan hilangnya mata pencaharian dan pekerjaan yang mengakibatkan bertambahnya jumlah orang miskin dan orang-orang yang membutuhkan.
- Jumlah tawanan dan orang-orang yang ditangkapi di Palestina sendiri mencapai 14.000 orang. Di Inggris jumlah narapidana sebanyak 80.000 orang. Hal itu mengakibatkan hilangnya orang yang menanggung keluarga mereka dan yang mengurusi mereka yang akhirnya menyebabkan kemiskinan, dan kadang-kadang menyebabkan penyimpangan dan tunawisma. Informasi terkini menunjukkan bahwa Amerika Serikat menjadi penjara terbesar di dunia di mana jumlah narapidana di AS sebanyak 2,3 juta orang dan ini merupakan jumlah yang mencengangkan.
- Bertambahnya jumlah peminta-minta dan menyebar luasnya fenomena ini di sebagian besar negara di dunia. Peminta-minta itu sendiri ada berbagai bentuk. Ada kelompok-kelompok yang mengorganisirnya. Akibatnya terjadi ekploitasi atas anak-anak dan wanita untuk mengemis dan meminta-minta.
- Bantuan yang diberikan kepada keluarga-keluarga miskin hampir-hampir tidak cukup untuk sekedar membayar sewa rumah. Salah seorang ahli Amerika mensifati bantuan-bantuan sosial itu. Ia mengatakan bahwa bantuan bulanan yang diberikan kepada keluarga-keluarga miskin sebanding dengan harga sepasang sepatu bagi orang yang makmur. Dengan demikian tujuan dari bantuan-bantuan itu adalah melanggengkan agar keluarga-keluarga itu sekedar tetap hidup dan tidak sampai mati karena kelaparan. Hasilnya tidak ada pengaruh yang bisa disebutkan dalam menyelesaikan masalah kemiskinan. Di Arab Saudi misalnya, bantuan keluarga jumlahnya maksimal mencapai 12.000 reyal per keluarga yang jumlah anggotanya banyak. Jumlah ini hampir-hampir tidak cukup untuk kebutuhan minum keluarga tersebut atau untuk membayar sewa tempat tinggal jika dibandingkan dengan tingkat pendapatan di sana.
- Perkiraan menunjukkan bahwa hanya 20 % dari penduduk dunia yang mampu hidup dan bekerja dengan aman dan tenteram di abad baru ini. Pada saat yang sama 80 % sisanya tidak bisa hidup kecuali dengan bantuan, sumbangan dan aksi sosial lainnya. Dan bahwa sekitar empat milyar orang penduduk dunia mencari kehidupan dari hanya 6 % kekayaan dunia.
Ini adalah kondisi sebelum meletusnya krisis ekonomi kontemporer yang muncul akibat naiknya harga minyak, disusul menurunnya nilai dolar dan kenaikan harga-harga komoditi dan bahan kebutuhan, khususnya bahan pangan. Kenaikan harga yang menyolok dan belum pernah terjadi sebelumnya, yang kemungkinan besar masih akan naik, telah dan akan menyebabkan makin parahnya masalah kemiskinan dan bertambahnya jumlah orang miskin di dunia. Disamping juga menyebabkan berbagai masalah, bencana dan kemunduran lainnya baik berupa pembunuhan, pengusiran, bunuh diri, suap, kerusakan finansial, moral dan sosial sampai kekerasan bersenjata dan penyerangan terhadap harta, nyawa dan harta milik pribadi maupun milik umum.
Krisis ini menjadi semakin parah setelah munculnya masalah agunan property dan defisit perdagangan Amerika yang terus meningkat, disamping menurunnya harga minyak dan menyebarluasnya riba. Amerika Serikat berhasil mengalihkan masalah-masalah itu ke seluruh dunia. Dalam jangka waktu yang singkat perusahaan-perusahaan raksasa mulai ambruk satu demi satu. Di antaranya adalah bank Lehman Brothers yang telah mengumumkan kebangkrutannya pada 15 September 2008. Lehman Brothers merupakan bank keempat terbesar di Amerika. Harga saham Lehman pada hari itu anjlok sampai 92 %. Hal itu diikuti anjloknya harga saham bank-bank besar. Masalah mulai menjalari banyak perusahaan dan bank, tidak terkecuali perusahaan-perusahaan pembuat mobil yang kondisinya sampai berada di tepi jurang kebangkrutan. Hal itu menyebabkan pemecatan jutaan pekerja yang mengakibatkan makin parahnya masalah pengangguran dan bertambahnya jumlah orang miskin.
Pemerintah AS telah mengumumkan rencana penyelamatan dan disediakan dana sekitar US $ 800 milyar untuk menopang perusahaan-perusahaan dan membeli sebagian sahamnya atau asetnya. Amerika juga telah berupaya mengeksploitasi, menyedot dan memaksakan pungutan terhadap negara-negara teluk untuk mendapatkan milyaran dolar. Namun, meski semua itu dilakukan, kondisinya tidak akan berubah. Laporan-laporan para ahli menyatakan bahwa tahun 2009 akan lebih buruk dari tahun sebelumnya dan bahwa resesi ekonomi dan perlambatan ekonomi akan menimpa banyak negara.
Informasi-informasi yang ada menunjukkan kondisi-kondisi dunia sebagai berikut:
- Saat ini di Amerika Serikat terdapat lima juta orang penganggur dan mendapatkan bantuan dari negara.
- Perusahaan mobil Swedia Saab yang dimiliki oleh General Motors meminta dana talangan segera supaya tidak mengumumkan kebangkrutannya.
- Perusahaan otomotiv Opel meminta dukungan pemerintah sebesar dua milyar dolar untuk bisa tetap beroperasi.
- Banyak perusahaan dan bank-bank mem-PHK ribuan karyawan. Kemungkinan gelombang PHK itu terus berlanjut ke perusahaan-perusahaan lain di berbagai negara.
- Sejumlah perusahaan dan bank di Barat telah mengumumkan kebangkrutannya.
- Beberapa negara mengumumkan menderita resesi ekonomi dan yang terdepan adalah Inggris.
- Jepang telah mengumumkan bahwa mereka sedang menghadapi krisis ekonomi terburuk sejak PD II.
- Bank Dunia mengumumkan kemungkinan buruk perekonomian dan sosial di banyak negara di dunia.
- Perusahaan General Motors meminta dana talangan dari Kanada sebesar tujuh milyar dolar untuk menopang posisi finansialnya.
Kami telah menunjukkan kondisi ini dan mengupas masalah ini, maka bagi kami tinggal membahas dua perkara penting yang saling berkaitan yaitu:
Pertama, sebab-sebab masalah tersebut, dan kedua, solusi yang pas dan efektif untuk mengatasi masalah tersebut.
Berkaitan dengan masalah pertama yaitu sebab-sebab masalah, maka bisa dipaparkan sebab-sebab berikut:
1. Rusaknya sistem ekonomi kapitalis yang diterapkan negara- negara di seluruh dunia saat ini. Sistem ekonomi kapitalis merupakan sistem yang mengandung kerusakan. Tabiatnya mengantarkan kepada kebebasan dan penjajahan, serta terakumulasinya kekayaan di tangan sebagian kecil orang atau perusahaan raksasa.
2. Rusaknya sistem dan undang-undang yang diterapkan di dunia, dan tidak adanya penguasaan terhadap fakta secara sempurna. Sistem tersebut tidak mampu menyelesaikan masalah, karena dalam memberikan solusi-solusi bertumpu pada asas-asas yang salah.
3. Kerusakaan finansial dan administratif serta buruknya pengelolaan perusahaan-perusahaan oleh para pelaksana. Padahal mereka memperoleh gaji, bonus, dan kompensasi sangat tinggi. Selain itu mereka juga menutupi kondisi keuangan yang sebenarnya kepada lembaga-lembaga yang beraktivitas di dalamnya dan yang mengelola administrasinya.
4. Burukya distribusi kekayaan, bahkan tidak ada sistem pendistribusian kekayaan. Juga anggapan bahwa masalahnya adalah masalah kelangkaan relatif yang solusinya dengan menambah produksi. Sementara sekitar lima milyar orang penduduk dunia hidup dengan kurang dari dua dolar per hari, sebagaimana sekitar satu setengah milyar orang hidup dengan kurang dari satu dolar per hari per orang. Juga sebagaimana 1 % penduduk Amerika Serikat memiliki 50 % dari total kekayaan, sementara 80 % penduduk Amerika memiliki kurang dari 8 % total kekayaan.
5. Buruk dan rusaknya administrasi yang dikendalikan oleh nepotisme dan bagi-bagi kekayaan, dan berbagai kerusakan administratif di banyak negara.
6. Pengaruh dan dominasi perusahaan-perusahaan besar terhadap perekonomian global. Contohnya, 80 % komite yang membuat keputusan di Amerika Serikat ditentukan oleh pemilik kepentingan-kepentingan dan kekayaan-kekayaan yang besar.
7. Dominasi para penguasa dan para pengusaha terhadap sumber daya negeri.
8. Peran serta organisasi internasional seperti Bank Dunia dan IMF dalam menghancurkan kekayaan negara-negara debitor (pengutang) melalui solusi keji yang diberikan kepada negara-negara tersebut yang bertujuan memperlemah dan memelaratkannya serta mempertahankannya terus membutuhkan bantuan dan utang.
Adapun perkara kedua yaitu solusi yang pas dan efektif bagi masalah tersebut, maka solusi itu tidak lain adalah penerapan sistem Islam secara menyeluruh dan pendirian negara besar yang tegak di atas asas ideologi Islam sebagai akidah dan sistem kehidupan. Islam memecahkan masalah tersebut dengan solusi sejak akarnya di mana jika implementasi ideologi dan solusi-solusi yang dibangun di atasnya berjalan baik, maka tak diragukan hal itu akan menyelesaikan fenomena itu secara tuntas dan selamanya.
Adapun apa solusi itu, maka Islam memandang kemiskinan dengan pandangan yang khusus dan menyelesaikannya dengan jalan berikut:
1. Islam menilai pribadi yang miskin adalah pribadi yang membutuhkan lagi lemah kondisinya tetapi ia tidak meminta. Sedangkan sistem kapitalisme menjadikan kemiskinan sebagai sesuatu yang bersifat relatif dan bukan sebutan untuk sesuatu tertentu yang baku dan tidak berubah. Sistem kapitalisme menilai kemiskinan sebagai ketidakmampuan memenuhi kebutuhan-kebutuhan barang dan jasa. Mereka memandang kebutuhan itu berbeda-beda dari satu negeri ke negeri lainnya. Mereka memandang bahwa masalah kemiskinan adalah masalah kelangkaan barang dan jasa dibandingkan kebutuhan yang selalu bertambah. Inilah yang oleh sistem kapitalisme disebut sebagai kelangkaan relatif yang menurut pandangan mereka dianggap sebagai masalah perekonomian yang mendasar.
2. Islam memandang kemiskinan adalah tidak adanya kemampuan memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokok secara menyeluruh. Syara’ menentukan kebutuhan pokok itu adalah tiga, yaoti kebutuhan pangan, sandang, dan papan. Sedangkan kebutuhan-kebutuhan lainnya dinilai sebagai kebutuhan sekunder (pelengkap).
Islam menetapkan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan pokok dan penyediaan bagi orang yang tidak mendapatkannya sebagai kewajiban. Jika individu bisa menyediakan sendiri maka dipenuhi dengan cara itu. Jika individu tidak bisa menyediakannya karena tidak memiliki harta yang cukup atau karena tidak mampu memperoleh harta yang mencukupi, maka syara’ mewajibkan kepada individu lain untuk membantunya, sehingga tersedia baginya apa yang bisa memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokok itu. Perealisasian hal itu melalui jalan berikut:
• Islam menetapkan nafkahnya menjadi kewajiban karib kerabat yang berkemampuan untuk melakukan hal itu.
• Kemudian pada kondisi ia tidak memiliki kerabat atau ia memiliki kerabat yang tidak mampu membantunya, maka nafkahnya menjadi kewajiban Baitul Mal kaum Muslim dari pos zakat.
Jika di Baitul Mal tidak terdapat harta, maka negara wajib menetapkan pajak terhadap harta orang-orang kaya dan memungutnya untuk dibelanjakan pada waktunya kepada orang-orang fakir dan orang-orang miskin.
Sedangkan kebutuhan sekunder (pelengkap) maka oang yang mampu harus memenuhinya untuk dirinya sendiri dan orang yang menjadi tanggung jawabnya sesuai dengan kemampuannya. Hal itu sebagaimana wajib bagi negara bekerja untuk memenuhinya bagi orang-orang yang membutuhkan sesuai dengan kemampuannya secara makruf.
3. Islam mewajibkan negara untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan umum rakyat seluruhnya. Kebutuhan-kebutuhan umum rakyat itu adalah keamanan, pendidikan, dan pelayanan kesehatan, dengan semaksimal mungkin secara gratis.
Dengan ini Islam telah menetapkan solusi secara mendasar bagi masalah kemiskinan, solusi yang menghalangi adanya orang-orang miskin.
Rasulullah saw pernah bersabda:
«أَيُّمَا أَهْلُ عَرْصَةٍ بَاتَ فِيهِمْ امْرُؤٌ جَائِعًا اِلاَّ بَرِئَتْ مِنْهُمْ ذِمَّةُ اللَّهِ تَبَارَكَ وَ تَعَالَى »
Penduduk negeri manapun yang tidur sementara di tengah mereka terdapat orang dalam kondisi kelaparan melainkan jaminan Allah SWT terlepas dari mereka.


Mengapa Kemiskinan di Indonesia Menjadi Masalah Berkelanjutan?
SEJAK awal kemerdekaan, bangsa Indonesia telah mempunyai perhatian besar terhadap terciptanya masyarakat yang adil dan makmur sebagaimana termuat dalam alinea keempat Undang-Undang Dasar 1945. Program-program pembangunan yang dilaksanakan selama ini juga selalu memberikan perhatian besar terhadap upaya pengentasan kemiskinan karena pada dasarnya pembangunan yang dilakukan bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Meskipun demikian, masalah kemiskinan sampai saat ini terus-menerus menjadi masalah yang berkepanjangan.
PADA umumnya, partai-partai peserta Pemilihan Umum (Pemilu) 2004 juga mencantumkan program pengentasan kemiskinan sebagai program utama dalam platform mereka. Pada masa Orde Baru, walaupun mengalami pertumbuhan ekonomi cukup tinggi, yaitu rata-rata sebesar 7,5 persen selama tahun 1970-1996, penduduk miskin di Indonesia tetap tinggi.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), persentase penduduk miskin di Indonesia tahun 1996 masih sangat tinggi, yaitu sebesar 17,5 persen atau 34,5 juta orang. Hal ini bertolak belakang dengan pandangan banyak ekonom yang menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi yang tinggi dapat meningkatkan pendapatan masyarakat dan pada akhirnya mengurangi penduduk miskin.
Perhatian pemerintah terhadap pengentasan kemiskinan pada pemerintahan reformasi terlihat lebih besar lagi setelah terjadinya krisis ekonomi pada pertengahan tahun 1997. Meskipun demikian, berdasarkan penghitungan BPS, persentase penduduk miskin di Indonesia sampai tahun 2003 masih tetap tinggi, sebesar 17,4 persen, dengan jumlah penduduk yang lebih besar, yaitu 37,4 juta orang.
Bahkan, berdasarkan angka Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) pada tahun 2001, persentase keluarga miskin (keluarga prasejahtera dan sejahtera I) pada 2001 mencapai 52,07 persen, atau lebih dari separuh jumlah keluarga di Indonesia. Angka- angka ini mengindikasikan bahwa program-program penanggulangan kemiskinan selama ini belum berhasil mengatasi masalah kemiskinan di Indonesia.
Penyebab kegagalan
Pada dasarnya ada dua faktor penting yang dapat menyebabkan kegagalan program penanggulangan kemiskinan di Indonesia. Pertama, program- program penanggulangan kemiskinan selama ini cenderung berfokus pada upaya penyaluran bantuan sosial untuk orang miskin.Hal itu, antara lain, berupa beras untuk rakyat miskin dan program jaring pengaman sosial (JPS) untuk orang miskin. Upaya seperti ini akan sulit menyelesaikan persoalan kemiskinan yang ada karena sifat bantuan tidaklah untuk pemberdayaan, bahkan dapat menimbulkan ketergantungan.
Program-program bantuan yang berorientasi pada kedermawanan pemerintah ini justru dapat memperburuk moral dan perilaku masyarakat miskin. Program bantuan untuk orang miskin seharusnya lebih difokuskan untuk menumbuhkan budaya ekonomi produktif dan mampu membebaskan ketergantungan penduduk yang bersifat permanen. Di lain pihak, program-program bantuan sosial ini juga dapat menimbulkan korupsi dalam penyalurannya.
Alangkah lebih baik apabila dana-dana bantuan tersebut langsung digunakan untuk peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM), seperti dibebaskannya biaya sekolah, seperti sekolah dasar (SD) dan sekolah menengah pertama (SMP), serta dibebaskannya biaya- biaya pengobatan di pusat kesehatan masyarakat (puskesmas).
Faktor kedua yang dapat mengakibatkan gagalnya program penanggulangan kemiskinan adalah kurangnya pemahaman berbagai pihak tentang penyebab kemiskinan itu sendiri sehingga program-program pembangunan yang ada tidak didasarkan pada isu-isu kemiskinan, yang penyebabnya berbeda-beda secara lokal.
Sebagaimana diketahui, data dan informasi yang digunakan untuk program-program penanggulangan kemiskinan selama ini adalah data makro hasil Survei Sosial dan Ekonomi Nasional (Susenas) oleh BPS dan data mikro hasil pendaftaran keluarga prasejahtera dan sejahtera I oleh BKKBN.
Kedua data ini pada dasarnya ditujukan untuk kepentingan perencanaan nasional yang sentralistik, dengan asumsi yang menekankan pada keseragaman dan fokus pada indikator dampak. Pada kenyataannya, data dan informasi seperti ini tidak akan dapat mencerminkan tingkat keragaman dan kompleksitas yang ada di Indonesia sebagai negara besar yang mencakup banyak wilayah yang sangat berbeda, baik dari segi ekologi, organisasi sosial, sifat budaya, maupun bentuk ekonomi yang berlaku secara lokal.
Bisa saja terjadi bahwa angka-angka kemiskinan tersebut tidak realistis untuk kepentingan lokal, dan bahkan bisa membingungkan pemimpin lokal (pemerintah kabupaten/kota). Sebagai contoh adalah kasus yang terjadi di Kabupaten Sumba Timur. Pemerintah Kabupaten Sumba Timur merasa kesulitan dalam menyalurkan beras untuk orang miskin karena adanya dua angka kemiskinan yang sangat berbeda antara BPS dan BKKBN pada waktu itu.
Di satu pihak angka kemiskinan Sumba Timur yang dihasilkan BPS pada tahun 1999 adalah 27 persen, sementara angka kemiskinan (keluarga prasejahtera dan sejahtera I) yang dihasilkan BKKBN pada tahun yang sama mencapai 84 persen. Kedua angka ini cukup menyulitkan pemerintah dalam menyalurkan bantuan-bantuan karena data yang digunakan untuk target sasaran rumah tangga adalah data BKKBN, sementara alokasi bantuan didasarkan pada angka BPS.
Secara konseptual, data makro yang dihitung BPS selama ini dengan pendekatan kebutuhan dasar (basic needs approach) pada dasarnya (walaupun belum sempurna) dapat digunakan untuk memantau perkembangan serta perbandingan penduduk miskin antardaerah. Namun, data makro tersebut mempunyai keterbatasan karena hanya bersifat indikator dampak yang dapat digunakan untuk target sasaran geografis, tetapi tidak dapat digunakan untuk target sasaran individu rumah tangga atau keluarga miskin. Untuk target sasaran rumah tangga miskin, diperlukan data mikro yang dapat menjelaskan penyebab kemiskinan secara lokal, bukan secara agregat seperti melalui model-model ekonometrik.
Untuk data mikro, beberapa lembaga pemerintah telah berusaha mengumpulkan data keluarga atau rumah tangga miskin secara lengkap, antara lain data keluarga prasejahtera dan sejahtera I oleh BKKBN dan data rumah tangga miskin oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan, dan Pemerintah Provinsi Jawa Timur. Meski demikian, indikator- indikator yang dihasilkan masih terbatas pada identifikasi rumah tangga. Di samping itu, indikator-indikator tersebut selain tidak bisa menjelaskan penyebab kemiskinan, juga masih bersifat sentralistik dan seragam-tidak dikembangkan dari kondisi akar rumput dan belum tentu mewakili keutuhan sistem sosial yang spesifik-lokal.
Strategi ke depan
Berkaitan dengan penerapan otonomi daerah sejak tahun 2001, data dan informasi kemiskinan yang ada sekarang perlu dicermati lebih lanjut, terutama terhadap manfaatnya untuk perencanaan lokal.
Strategi untuk mengatasi krisis kemiskinan tidak dapat lagi dilihat dari satu dimensi saja (pendekatan ekonomi), tetapi memerlukan diagnosa yang lengkap dan menyeluruh (sistemik) terhadap semua aspek yang menyebabkan kemiskinan secara lokal.
Data dan informasi kemiskinan yang akurat dan tepat sasaran sangat diperlukan untuk memastikan keberhasilan pelaksanaan serta pencapaian tujuan atau sasaran dari kebijakan dan program penanggulangan kemiskinan, baik di tingkat nasional, tingkat kabupaten/kota, maupun di tingkat komunitas.
Masalah utama yang muncul sehubungan dengan data mikro sekarang ini adalah, selain data tersebut belum tentu relevan untuk kondisi daerah atau komunitas, data tersebut juga hanya dapat digunakan sebagai indikator dampak dan belum mencakup indikator-indikator yang dapat menjelaskan akar penyebab kemiskinan di suatu daerah atau komunitas.
Dalam proses pengambilan keputusan diperlukan adanya indikator-indikator yang realistis yang dapat diterjemahkan ke dalam berbagai kebijakan dan program yang perlu dilaksanakan untuk penanggulangan kemiskinan. Indikator tersebut harus sensitif terhadap fenomena-fenomena kemiskinan atau kesejahteraan individu, keluarga, unit-unit sosial yang lebih besar, dan wilayah.
Kajian secara ilmiah terhadap berbagai fenomena yang berkaitan dengan kemiskinan, seperti faktor penyebab proses terjadinya kemiskinan atau pemiskinan dan indikator-indikator dalam pemahaman gejala kemiskinan serta akibat-akibat dari kemiskinan itu sendiri, perlu dilakukan. Oleh karena itu, pemerintah kabupaten/kota dengan dibantu para peneliti perlu mengembangkan sendiri sistem pemantauan kemiskinan di daerahnya, khususnya dalam era otonomi daerah sekarang. Para peneliti tersebut tidak hanya dibatasi pada disiplin ilmu ekonomi, tetapi juga disiplin ilmu sosiologi, ilmu antropologi, dan lainnya.
Belum memadai
Ukuran-ukuran kemiskinan yang dirancang di pusat belum sepenuhnya memadai dalam upaya pengentasan kemiskinan secara operasional di daerah. Sebaliknya, informasi-informasi yang dihasilkan dari pusat tersebut dapat menjadikan kebijakan salah arah karena data tersebut tidak dapat mengidentifikasikan kemiskinan sebenarnya yang terjadi di tingkat daerah yang lebih kecil. Oleh karena itu, di samping data kemiskinan makro yang diperlukan dalam sistem statistik nasional, perlu juga diperoleh data kemiskinan (mikro) yang spesifik daerah. Namun, sistem statistik yang dikumpulkan secara lokal tersebut perlu diintegrasikan dengan sistem statistik nasional sehingga keterbandingan antarwilayah, khususnya keterbandingan antarkabupaten dan provinsi dapat tetap terjaga.
Dalam membangun suatu sistem pengelolaan informasi yang berguna untuk kebijakan pembangunan kesejahteraan daerah, perlu adanya komitmen dari pemerintah daerah dalam penyediaan dana secara berkelanjutan. Dengan adanya dana daerah untuk pengelolaan data dan informasi kemiskinan, pemerintah daerah diharapkan dapat mengurangi pemborosan dana dalam pembangunan sebagai akibat dari kebijakan yang salah arah, dan sebaliknya membantu mempercepat proses pembangunan melalui kebijakan dan program yang lebih tepat dalam pembangunan.
Keuntungan yang diperoleh dari ketersediaan data dan informasi statistik tersebut bahkan bisa jauh lebih besar dari biaya yang diperlukan untuk kegiatan-kegiatan pengumpulan data tersebut. Selain itu, perlu adanya koordinasi dan kerja sama antara pihak-pihak yang berkepentingan (stakeholder), baik lokal maupun nasional atau internasional, agar penyaluran dana dan bantuan yang diberikan ke masyarakat miskin tepat sasaran dan tidak tumpang tindih.
Ketersediaan informasi tidak selalu akan membantu dalam pengambilan keputusan apabila pengambil keputusan tersebut kurang memahami makna atau arti dari informasi itu. Hal ini dapat disebabkan oleh kurangnya kemampuan teknis dari pemimpin daerah dalam hal penggunaan informasi untuk manajemen.
Sebagai wujud dari pemanfaatan informasi untuk proses pengambilan keputusan dalam kaitannya dengan pembangunan di daerah, diusulkan agar dilakukan pemberdayaan pemerintah daerah, instansi terkait, perguruan tinggi dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) dalam pemanfaatan informasi untuk kebijakan program.
Kegiatan ini dimaksudkan agar para pengambil keputusan, baik pemerintah daerah, dinas-dinas pemerintahan terkait, perguruan tinggi, dan para LSM, dapat menggali informasi yang tepat serta menggunakannya secara tepat untuk membuat kebijakan dan melaksanakan program pembangunan yang sesuai.
Pemerintah daerah perlu membangun sistem pengelolaan informasi yang menghasilkan segala bentuk informasi untuk keperluan pembuatan kebijakan dan pelaksanaan program pembangunan yang sesuai. Perlu pembentukan tim teknis yang dapat menyarankan dan melihat pengembangan sistem pengelolaan informasi yang spesifik daerah. Pembentukan tim teknis ini diharapkan mencakup pemerintah daerah dan instansi terkait, pihak perguruan tinggi, dan peneliti lokal maupun nasional, agar secara kontinu dapat dikembangkan sistem pengelolaan informasi yang spesifik daerah.
Berkaitan dengan hal tersebut, perlu disadari bahwa walaupun kebutuhan sistem pengumpulan data yang didesain, diadministrasikan, dianalisis, dan didanai pusat masih penting dan perlu dipertahankan, sudah saatnya dikembangkan pula mekanisme pengumpulan data untuk kebutuhan komunitas dan kabupaten.
Mekanisme pengumpulan data ini harus berbiaya rendah, berkelanjutan, dapat dipercaya, dan mampu secara cepat merefleksikan keberagaman pola pertumbuhan ekonomi dan pergerakan sosial budaya di antara komunitas pedesaan dan kota, serta kompromi ekologi yang meningkat.
Bahwa sejak manusia mulai hidup bermasyarakat, maka sejak saat itu sebuah gejala yang disebut masalah sosial berkutat didalamnya.
Sebagaimana diketahui, dalam realitas sosial memang tidak pernah dijumpai suatu kondisi masyarakat yang ideal. Dalam pengertian tidak pernah dijumpai kondisi yang menggambarkan bahwa seluruh kebutuhan setiap warga masyarakat terpenuhi, seluruh prilaku kehidupan sosial sesuai harapan atau seluruh warga masyarakat dan komponen sistem sosial mampu menyesuaikan dengan tuntutan perubahan yang terjadi. Dengan kata lain das sein selalu tidak sesuai das sollen.
Pada jalur yang searah, sejak tumbuhnya ilmu pengetahuan sosial yang mempunyai obyek studi kehidupan masyarakat, maka sejak itu pula studi masalah sosial mulai dilakukan. Dari masa ke masa para sosiolog mengumpulkan dan mengkomparasikan hasil studi melalui beragam perspektif dan fokus perhatian yang berbeda-beda, hingga pada akhirnya semakin memperlebar jalan untuk memperoleh pandangan yang komprehensif serta wawasan yang luas dalam memahami dan menjelaskan fenomena sosial.
Buku ini hadir dengan fokus studi masalah sosial yang sekaligus memuat referensi dan rekomendasi bagi tindakan untuk melakukan penanganan masalah. Di negara-negara berkembang, tindakan untuk melakukan perubahan dan perbaikan dalam rangka penanganan masalah sosial menjadi perhatian yang sangat serius demi kelangsungan serta kemajuan bangsanya menuju cita-cita kemakmuran dan kesejahteraan. Terkait hal itu, pembahasan mengenai berbagai perspektif sosial, identifikasi melalui serangkaian unit analisis serta pemecahan masalah yang berbasis negara dan masyarakat menjadi tema-tema yang diulas secara teoritis dalam buku ini.
Sumber Masalah
Masalah sosial menemui pengertiaannya sebagai sebuah kondisi yang tidak diharapkan dan dianggap dapat merugikan kehidupan sosial serta bertentangan dengan standar sosial yang telah disepakati. Keberadaan masalah sosial ditengah kehidupan masyarakat dapat diketahui secara cermat melalui beberapa proses dan tahapan analitis, yang salah satunya berupa tahapan diagnosis. Dalam mendiagnosis masalah sosial diperlukan sebuah pendekatan sebagai perangkat untuk membaca aspek masalah secara konseptual. Eitzen membedakan adanya dua pendekatan yaitu person blame approach dan system blame approach (hlm. 153).
Person blame approach merupakan suatu pendekatan untuk memahami masalah sosial pada level individu. Diagnosis masalah menempatkan individu sebagai unit analisanya. Sumber masalah sosial dilihat dari faktor-faktor yang melekat pada individu yang menyandang masalah. Melalui diagnosis tersebut lantas bisa ditemukan faktor penyebabnya yang mungkin berasal dari kondisi fisik, psikis maupun proses sosialisasinya.
Sedang pendekatan kedua system blame approach merupakan unit analisis untuk memahami sumber masalah pada level sistem. Pendekatan ini mempunyai asumsi bahwa sistem dan struktur sosial lebih dominan dalam kehidupan bermasyarakat. Individu sebagai warga masyarakat tunduk dan dikontrol oleh sistem. Selaras dengan itu, masalah sosial terjadi oleh karena sistem yang berlaku didalamnya kurang mampu dalam mengantisipasi perubahan-perubahan yang terjadi, termasuk penyesuaian antar komponen dan unsur dalam sistem itu sendiri.
Dari kedua pendekatan tersebut dapat diketahui, bahwa sumber masalah dapat ditelusuri dari ”kesalahan" individu dan "kesalahan" sistem. Mengintegrasikan kedua pendekatan tersebut akan sangat berguna dalam rangka melacak akar masalah untuk kemudian dicarikan pemecahannya. Untuk mendiagnosis masalah pengangguran misalnya, secara lebih komprehensif tidak cukup dilihat dari faktor yang melekat pada diri penganggur saja seperti kurang inovatif atau malas mencari peluang, akan tetapi juga perlu dilihat sumbernya masalahnya dari level sistem baik sistem pendidikan, sistem produksi dan sistem perokonomian atau bahkan sistem sosial politik pada tingkat yang lebih luas.
Masyarakat Dan Negara
Parillo menyatakan, kenyataan paling mendasar dalam kehidupan sosial adalah bahwa masyarakat terbentuk dalam suatu bangunan struktur. Melalui bangunan struktural tertentu maka dimungkinkan beberapa individu mempunyai kekuasaan, kesempatan dan peluang yang lebih baik dari individu yang lain (hlm. 191). Dari hal tersebut dapat dimengerti apabila kalangan tertentu dapat memperoleh manfaat yang lebih besar dari kondisi sosial yang ada sekaligus memungkinkan terpenuhinya segala bentuk kebutuhan, sementara dipihak lain masih banyak yang kekurangan.
Masalah sosial sebagai kondisi yang dapat menghambat perwujudan kesejahteraan sosial pada gilirannya selalu mendorong adanya tindakan untuk melakukan perubahan dan perbaikan. Dalam konteks tersebut, upaya pemecahan sosial dapat dibedakan antara upaya pemecahan berbasis negara dan berbasis masyarakat. Negara merupakan pihak yang sepatutnya responsif terhadap keberadaan masalah sosial. Perwujudan kesejahteraan setiap warganya merupakan tanggung jawab sekaligus peran vital bagi keberlangsungan negara. Di lain pihak masyarakat sendiri juga perlu responsif terhadap masalah sosial jika menghendaki kondisi kehidupan berkembang ke arah yang semakin baik.
Salah satu bentuk rumusan tindakan negara untuk memecahkan masalah sosial adalah melalui kebijakan sosial. Suatu kebijakan akan dapat dirumuskan dengan baik apabila didasarkan pada data dan informasi yang akurat. Apabila studi masalah sosial dapat memberikan informasi yang lengkap dan akurat maka bararti telah memberikan kontribusi bagi perumusan kebijakan sosial yang baik, sehingga bila diimplementasikan akan mampu menghasilkan pemecahan masalah yang efektif.
Upaya pemecahan sosial sebagai muara penanganan sosial juga dapat berupa suatu tindakan bersama oleh masyarakat untuk mewujudkan suatu perubahan yang sesuai yang diharapkan. Dalam teorinya Kotler mengatakan, bahwa manusia dapat memperbaiki kondisi kehidupan sosialnya dengan jalan mengorganisir tindakan kolektif. Tindakan kolektif dapat dilakukan oleh masyarakat untuk melakukan perubahan menuju kondisi yang lebih sejahtera.
Kebermaknaan suatu studi termasuk studi masalah sosial disamping ditentukan oleh wawasan teoritik dalam menjelaskan gejala dan alur penalaran dari berbagai proposisi yang dihasilkan, juga sangat ditentukan oleh bagaimana studi itu dapat memberikan manfaat bagi kehidupan. Setidaknya seperti itulah muatan optimisme yang di kehendaki penulis buku ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar